Mataharinews.com, Jakarta - Asal usul Tuanku
Rao sampai hari ini masih menimbulkan perdebatan. Beberapa buku khusus
penelitian tentang Tuanku Rao dan beberapa buku yang membahas Tuanku Rao,
mengklaim bahwa asal Tuanku Rao dari dua daerah yaitu dari Batak dan dari
Minangkabau. Pendapat Onggang Parlindungan yang mengatakan bahwa Tuanku Rao berasal dari
daerah Batak dibantah oleh Buya HAMKA seperti yang tertulis dalam bukunya
Antara "Fakta dan hayal Tuanku Rao". HAMKA mengatakan bahwa Tuanku
Rao adalah orang Minangkabau.
Sementara itu, Christinne Dobbin (1992: 218) mengatakan bahwa Tuanku Rao secara genetik adalah keturunan daerah penguasa Bakkara, Batak. Karena interaksi yang intens dengan gerakan Paderi yang identik dengan Minangkabau dan agama Islam yang dianutnya serta area perjuangannya melawan kolonial Belanda berada di wilayah Minangkabau (Pasaman), menimbulkan kesan bahwa Tuanku Rao adalah orang Minangkabau.
Bila dilihat dari argumentasi dan dukungan fakta yang dikemukakan, pendapat Onggang Parlindungan dan Christine Dobbin lebih rasional dan argumentatif, sebab dalam tradisi sejarah lisan (oral history) Batak dikisahkan bahwa SisingamangarajaX (sepuluh) mempunyai adik perempuan yang bernama Nai Hapatin yang dikawinkan dengan seorang laki-laki dari klan Sisingamangaraja, Ompu Pelti.
Sisingamangaraja X yang bernama asli Ompu Tua Nabolon tidak menyukai perkawinan ini dan tidak diketahui juga latar belakang ketidak sukaan Sisingamangaraja, Ompu Pelti ini. Namun secara asumtif bisa dikemukakan bahwa Sisingamangaraja tidak menginginkan perkawinan ini berlangsung disebabkan mereka sama-sama satu marga, sama-sama berasal dari klan Sisinga mangaraja.
Perkawinan antara satu marga merupakan perkawinan yang dianggap tabu dalam adat Batak, terutama pada masa dulu. Untuk itu, Sisingamangaraja X berusaha menghalang-halangi agar perkawinan ini tidak jadi dilangsungkan. Karena Ompu Pelti dan adik perempuannya sama-sama keras, maka sesuai dengan adat Batak yang berpegang pada Dalih Natolu yaitu berpegang pada tiga : Marhula-hula, Mardongan Sabutuha dan Maranak Boru (O. Parlin-dungan, 1969: 59) akhirnya mereka dibuang ke daerah Bakkara untuk selanjutnya mereka pindah ke daerah Aceh Tengah.
Padahal secara adat, hukuman yang harus diberikan bagi mereka yang melanggar adat adalah sangat berat seperti dirajam atau dipukul dengan batu sampai mati. Karena mereka berasal dari kelompok “darah biru” maka hukuman yang diberikan kepada mereka hanya sebatas dibuang dalam masa tertentu. Secara sosiologis bisa saja masa tertentu tersebut bisa dilihat dari kajian stratifikasi sosial.
Didaerah “rantau” inilah anak mereka lahir, yang kemudian mereka beri nama Sipongki Na Ngolngolan yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Rao. Sejarah lisan inilah yang menjadi pijakan Onggang Parlindungan untuk mengatakan bahwa secara genetik Tuanku Rao adalah orang Batak.
Klaim ini dibantah oleh HAMKA yang berpijak pada buku Study Over Batak an Batak Schelanden tahun 1866 yang ditulis oleh JB. Newmen Kontrelir BB (HAMKA, 1974: 239). Buku ini dijelaskan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi. Selain berpijak pada buku tersebut, pendapat HAMKA ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan Sya’ban Sutan Ibrahim yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi, Rao Padang Nunang.
Bahkan Sya’ban Sutan Ibrahim juga mengatakan bahwa keturunan-keturunan beliau sampai hari ini bisa ditelusuri di daerah ini. Selain itu, Jubah beliau masih disimpan sebagai pusaka sejarah oleh anak cucunya. Jubah tersebut adalah salah satu Jubah yang selalu dipakai oleh Tuanku Rao ketika bertempur melawan kolonial Belanda.
Bila dirunut secara objektif dan memenuhi kaedah-kaedah epistimologis yang dilakukan Onggang Parlindungan, maka bisa didapatkan kesimpulan bahwa Sipongki Na Ngolngolan alias Tuanku Rao adalah orang Batak. Beliau berasal dari marga Sinambela dari keturunan Sisingamangaraja. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ada dikenal marga atau suku Sinambela. Lain ceritanya apabila Tuanku Rao berasal dari Marga Lubis atau Tanjung.
Terlepas dari perdebatan mengenai asal usulnya, dalam konteks tema tulisan ini, Tuanku Rao bisa ditempatkan sebagai salah seorang ulama Minangkabau. Secara genetik tidak berasal dari “darah” Minangkabau, akan tetapi area perjuangannya dan “peristirahatannya yang terakhir berada di daerah Minangkabau.
Si Pongki “Tuanku Rao” Na Ngolngolan : Interaksi Ajaran Islam hingga Gerakan Paderi di Minangkabau.
Alkisah, setelah kelahiran Tuanku Rao, orang tuanya membawa beliau ke kampung halamannya di tanah Bakkara kemudian dititipkan kepada kakek dari pihak ayahnya. Sementara itu, kedua orang tua Tuanku Rao kembali lagi ke Aceh Tengah. Mendengar kabar kepulangan adik beserta anaknya (Tuanku Rao) membuat “luka lama” Sisingamangaraja kambuh lagi. Rasa benci dan harga diri yang tercoreng membuat Sisingamangaraja kemudian berusaha membunuh kemenakannya dengan jalan membuang Tuanku Rao ke tengah-tengah Danau Toba.
Sebelum dibuang, tubuh Tuanku Rao diikat dengan tali yang diberati oleh batu. Namun upaya Sisingamaraja tersebut tidak terwujud sebab Tuanku rao berhasil melepaskan tali ikatan tali dan berenang ke tepian. Mengingat keamanan diri dan kakeknya apabila tetap berada di daerah Bakkara, maka Tuanku Rao meninggalkan kakeknya di Bakkara dan berangkat menunuju Aceh Tengah.
Di Aceh Tengah inilah (di daerah ini beliau tidak bergabung atau menemui kedua orang tuanya) Tuanku Rao pertama kali mengenal dan mempelajari ajaran Islam untuk kemudian memeluk agama Islam. Kemudian Tuanku Rao hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang tidak terdapat marga Sinambela untuk menghindari pengejaran terhadap dirinya dari antek-antek pamannya yaitu Sisingamangaraja.
Menurut salah satu Sumber Lisan di daerah Rao Mapattunggul, Tuanku Rao belajar ilmu agama di Aceh sampai berumur 18 tahun dan setelah itu kembali ke Padang Matinggi pada tahun perkiraan 1801 M untuk menemui sanak familinya sekaligus mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan keluarga dan masyarakat Batak disekitarnya.
Selanjutnya Tuanku Rao belajar dari beberapa orang ulama terkenal Minangkabau abad ke-19 M., diantaranya Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Fakta sejarah beliau belajar kepada beberapa ulama terkenal Minangkabau juga dikemukakan oleh Onggang Parlindungan yang mengatakan, pada tahun 1804 hingga tahun 1806 Tuanku Rao belajar Tulisan Arab serta mendalami Islam dan ilmu lain dengan ulama-ulama Islam di Minangkabau seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin dan lain-lain. (bersambung)
Sementara itu, Christinne Dobbin (1992: 218) mengatakan bahwa Tuanku Rao secara genetik adalah keturunan daerah penguasa Bakkara, Batak. Karena interaksi yang intens dengan gerakan Paderi yang identik dengan Minangkabau dan agama Islam yang dianutnya serta area perjuangannya melawan kolonial Belanda berada di wilayah Minangkabau (Pasaman), menimbulkan kesan bahwa Tuanku Rao adalah orang Minangkabau.
Bila dilihat dari argumentasi dan dukungan fakta yang dikemukakan, pendapat Onggang Parlindungan dan Christine Dobbin lebih rasional dan argumentatif, sebab dalam tradisi sejarah lisan (oral history) Batak dikisahkan bahwa SisingamangarajaX (sepuluh) mempunyai adik perempuan yang bernama Nai Hapatin yang dikawinkan dengan seorang laki-laki dari klan Sisingamangaraja, Ompu Pelti.
Sisingamangaraja X yang bernama asli Ompu Tua Nabolon tidak menyukai perkawinan ini dan tidak diketahui juga latar belakang ketidak sukaan Sisingamangaraja, Ompu Pelti ini. Namun secara asumtif bisa dikemukakan bahwa Sisingamangaraja tidak menginginkan perkawinan ini berlangsung disebabkan mereka sama-sama satu marga, sama-sama berasal dari klan Sisinga mangaraja.
Perkawinan antara satu marga merupakan perkawinan yang dianggap tabu dalam adat Batak, terutama pada masa dulu. Untuk itu, Sisingamangaraja X berusaha menghalang-halangi agar perkawinan ini tidak jadi dilangsungkan. Karena Ompu Pelti dan adik perempuannya sama-sama keras, maka sesuai dengan adat Batak yang berpegang pada Dalih Natolu yaitu berpegang pada tiga : Marhula-hula, Mardongan Sabutuha dan Maranak Boru (O. Parlin-dungan, 1969: 59) akhirnya mereka dibuang ke daerah Bakkara untuk selanjutnya mereka pindah ke daerah Aceh Tengah.
Padahal secara adat, hukuman yang harus diberikan bagi mereka yang melanggar adat adalah sangat berat seperti dirajam atau dipukul dengan batu sampai mati. Karena mereka berasal dari kelompok “darah biru” maka hukuman yang diberikan kepada mereka hanya sebatas dibuang dalam masa tertentu. Secara sosiologis bisa saja masa tertentu tersebut bisa dilihat dari kajian stratifikasi sosial.
Didaerah “rantau” inilah anak mereka lahir, yang kemudian mereka beri nama Sipongki Na Ngolngolan yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Rao. Sejarah lisan inilah yang menjadi pijakan Onggang Parlindungan untuk mengatakan bahwa secara genetik Tuanku Rao adalah orang Batak.
Klaim ini dibantah oleh HAMKA yang berpijak pada buku Study Over Batak an Batak Schelanden tahun 1866 yang ditulis oleh JB. Newmen Kontrelir BB (HAMKA, 1974: 239). Buku ini dijelaskan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi. Selain berpijak pada buku tersebut, pendapat HAMKA ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan Sya’ban Sutan Ibrahim yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi, Rao Padang Nunang.
Bahkan Sya’ban Sutan Ibrahim juga mengatakan bahwa keturunan-keturunan beliau sampai hari ini bisa ditelusuri di daerah ini. Selain itu, Jubah beliau masih disimpan sebagai pusaka sejarah oleh anak cucunya. Jubah tersebut adalah salah satu Jubah yang selalu dipakai oleh Tuanku Rao ketika bertempur melawan kolonial Belanda.
Bila dirunut secara objektif dan memenuhi kaedah-kaedah epistimologis yang dilakukan Onggang Parlindungan, maka bisa didapatkan kesimpulan bahwa Sipongki Na Ngolngolan alias Tuanku Rao adalah orang Batak. Beliau berasal dari marga Sinambela dari keturunan Sisingamangaraja. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ada dikenal marga atau suku Sinambela. Lain ceritanya apabila Tuanku Rao berasal dari Marga Lubis atau Tanjung.
Terlepas dari perdebatan mengenai asal usulnya, dalam konteks tema tulisan ini, Tuanku Rao bisa ditempatkan sebagai salah seorang ulama Minangkabau. Secara genetik tidak berasal dari “darah” Minangkabau, akan tetapi area perjuangannya dan “peristirahatannya yang terakhir berada di daerah Minangkabau.
Si Pongki “Tuanku Rao” Na Ngolngolan : Interaksi Ajaran Islam hingga Gerakan Paderi di Minangkabau.
Alkisah, setelah kelahiran Tuanku Rao, orang tuanya membawa beliau ke kampung halamannya di tanah Bakkara kemudian dititipkan kepada kakek dari pihak ayahnya. Sementara itu, kedua orang tua Tuanku Rao kembali lagi ke Aceh Tengah. Mendengar kabar kepulangan adik beserta anaknya (Tuanku Rao) membuat “luka lama” Sisingamangaraja kambuh lagi. Rasa benci dan harga diri yang tercoreng membuat Sisingamangaraja kemudian berusaha membunuh kemenakannya dengan jalan membuang Tuanku Rao ke tengah-tengah Danau Toba.
Sebelum dibuang, tubuh Tuanku Rao diikat dengan tali yang diberati oleh batu. Namun upaya Sisingamaraja tersebut tidak terwujud sebab Tuanku rao berhasil melepaskan tali ikatan tali dan berenang ke tepian. Mengingat keamanan diri dan kakeknya apabila tetap berada di daerah Bakkara, maka Tuanku Rao meninggalkan kakeknya di Bakkara dan berangkat menunuju Aceh Tengah.
Di Aceh Tengah inilah (di daerah ini beliau tidak bergabung atau menemui kedua orang tuanya) Tuanku Rao pertama kali mengenal dan mempelajari ajaran Islam untuk kemudian memeluk agama Islam. Kemudian Tuanku Rao hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang tidak terdapat marga Sinambela untuk menghindari pengejaran terhadap dirinya dari antek-antek pamannya yaitu Sisingamangaraja.
Menurut salah satu Sumber Lisan di daerah Rao Mapattunggul, Tuanku Rao belajar ilmu agama di Aceh sampai berumur 18 tahun dan setelah itu kembali ke Padang Matinggi pada tahun perkiraan 1801 M untuk menemui sanak familinya sekaligus mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan keluarga dan masyarakat Batak disekitarnya.
Selanjutnya Tuanku Rao belajar dari beberapa orang ulama terkenal Minangkabau abad ke-19 M., diantaranya Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Fakta sejarah beliau belajar kepada beberapa ulama terkenal Minangkabau juga dikemukakan oleh Onggang Parlindungan yang mengatakan, pada tahun 1804 hingga tahun 1806 Tuanku Rao belajar Tulisan Arab serta mendalami Islam dan ilmu lain dengan ulama-ulama Islam di Minangkabau seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin dan lain-lain. (bersambung)
No comments:
Post a Comment