RESENSI BUKU TUANKU RAO: “PRAHARA DI TANAH BATAK”
“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu
kata Nietzsche berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu
tampaknya berlaku juga untuk sejarah, sebab sejarah erat kaitannya dengan
serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya bermakna perlu ditata
dan ditafsir kembali. Karena itu, sejarah juga merupakan tafsir, dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.
dan ditafsir kembali. Karena itu, sejarah juga merupakan tafsir, dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.
Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini
merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan
pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui
buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak
secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik
teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada
1816-1833.
Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih
untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang
semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya
tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada
praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan
peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional
selama ini.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke
Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol)
karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak
sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution
(Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang
terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil
hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya,
Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan
Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela
adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah,
Singamangaraja X sangat mengasihi dan
memanjakan keponakannya (hlm. 355). Namun
kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual)
yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X
terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan
menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan
terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan
bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan
Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut
dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik
divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang
Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M)
terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi
berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan
seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk
menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran
agama Islam Mazhab Hambali.
Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X
di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok
dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah
Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba
Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja
untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang
tersimpan selama 26 generasi. Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820,
karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang
tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar
30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati
karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku
Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara,
sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan.
Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama
pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September
1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya
dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian
besar dan berisi 34 lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam
penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai
interpretasi yang tidak mutlak. Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah
tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik,
sosial, dan budaya. Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak
pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal
itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan mengenai historiografi
Indonesia. (*)
Oleh: TASYRIQ HIFZHILLAH Peminat sejarah asal
Probolinggo, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Jogjakarta. Sumber:
Kiriman dari AHMAD ALI AFANDI (DI JAWA POS, MINGGU, 24 JUNI 2007)
No comments:
Post a Comment